..:: Djakarta Info ::..: it's all about jakarta info

 
myprofile

Name: ojack_djakarta
Home: Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
About Me: A series that spawned a movie, Cowboy Bebop tells the tale of Spike Spiegel and his crew of future bounty hunters (Jet Black, Faye Valentine, Ed and Ein)
See my complete profile

advertising

previouspost
myarchives
mylinks
bloginfo




Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


Powered by  MyPagerank.Net

hit counter

denero's diary
elo siapa ..???

Margahayu Land

« Home | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article » | Previous Article »

Google
Web Blog ini

Monday, February 12, 2007

Berkaca pada Jakarta

Oleh OTTO SOEMARWOTO*


JAKARTA dilanda banjir dahsyat. Menurut perkiraan, 75% Kota Jakarta terendam. Jalan-jalan besar berubah menjadi sungai besar. Pabrik, perakitan mobil, terminal peti kemas, gudang Bulog, permukiman kumuh dan elite terendam. Kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah.

Salah siapa?

Hujan deras di Jakarta dan di hulu daerah aliran sungai (DAS) sungai yang mengalir ke Jakarta, banyaknya sungai yang bermuara di Jakarta, topografi Jakarta yang landai dan air pasang, serta letak geografi di wilayah pantai, kata banyak orang. Itu semuanya benar.

Akan tetapi tidak kurang pentingnya ialah kelakuan manusia yang membuat Jakarta makin rentan terhadap banjir. Pembangunan telah dipacu sejak Orde Baru. Gedung-gedung baru, permukiman baru, pusat bisnis dengan perkantoran dan mal baru, jalan-jalan baru telah dibangun. Walaupun telah diperingatkan berulang-ulang oleh para pakar untuk tidak menghabiskan lahan hijau, kenyataannya lahan hijau makin menyusut dimakan pelebaran jalan dan jalan baru serta gedung baru. Halaman gedung dan rumah disemen untuk dijadikan tempat parkir. Jakarta makin penuh dengan gedung.

Sistem riulering peninggalan Belanda tidak diperbarui dan tidak pula dipelihara. Sampah menyumbatnya di banyak tempat. Air tanah disedot dan Jakarta mengalami keamblesan. Dengan kendaraan bermotornya yang terus bertambah, sumbangan Jakarta untuk emisi CO2 terus meningkat. Dengan ini pemanasan global juga terus naik. Permukaan laut naik dan air makin sulit dialirkan ke laut. DAS hulu Ciliwung di Puncak dan DAS sungai lainnya, seperti Cisadane di kaki Gn. Pangrango dan Gn. Salak, penuh dengan vila yang merambat terus makin tinggi di lereng gunung. Hutan di DAS hulu main habis. Bagaimana dengan Bandung?

Jika kata Jakarta diganti dengan Bandung, serta Puncak dan DAS hulu lainnya dengan Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Kawasan Bandung Selatan (KBS), tampaklah betapa miripnya Bandung dengan Jakarta. Sistem riulering yang buruk yang tersumbat sampah, penyedotan air, dan keamblesan tanah serta makin menyusutnya lahan hijau karena pelebaran jalan dan pembangunan jalan baru dan gedung, penembokan halaman untuk tempat parkir serta pembangunan pemukiman dan vila di KBU dan KBS terjadi di Bandung.

Perbedaannya Bandung tidak terletak di pantai, tetapi dalam sebuah cekungan. Cekungan ini dikelilingi gunung dengan curah hujan yang tinggi yang bervariasi antara 3.000 mm sampai 5.000 mm/tahun. Satu-satunya pembuangan air hanyalah Citarum yang jalur alirannya landai dan telah mengalami pendangkalan berat. Di banyak tempat juga tersumbat sampah. Jarak antara wilayah bercurah hujan tinggi dengan Citarum tidaklah jauh. Hanya 25-40 km. Dari segi geografi Bandung lebih rentan terhadap banjir daripada Jakarta.

Jika suatu ketika dalam musim hujan terjadi hujan pada waktu yang bersamaan di pegunungan yang mengelilingi Bandung, niscayalah Bandung akan disergap banjir besar, terutama di bagian selatan, timur-tenggara dan daerah lain yang rendah dan di pinggiran sungai.

Marilah kita berkaca pada Jakarta. Kita tentu tak ingin seperti Jakarta. Maka kendalikanlah diri kita. Kurangi kehidupan hidonik kita dengan mengurangi pola hidup konsumtif yang berlebihan. Kita kendalikan diri kita untuk membangun di KBU dan KBS. Kita kendalikan pula kesukaan kita untuk terlalu mudah naik mobil. Kita tidak antimobil. Mobil adalah hasil teknologi yang berguna. Harus kita manfaatkan. Hanya jangan berlebihan. Kita gunakan dengan efisien. Penggunaan untuk jarak pendek tidaklah efisien. Tidak pula sehat. Kita kurang mendapatkan aktivitas fisik. Di samping itu juga menyebabkan pencemaran udara yang berat yang meracuni diri kita sendiri, suami/istri, anak, dan cucu. Untuk jarak pendek sampai 1 km, berjalankakilah.

Untuk jarak 5-10 km bersepedalah. Dengan bersepeda juga menciptakan lapangan pekerjaan untuk produksi dan perakitan sepeda, produksi suku cadang, perdagangan sepeda dan penitipan sepeda. Dengan ini keperluan pelebaran jalan dan pembangunan jalan baru berkurang. Taman dan jalur hijau tidak perlu dikorbankan. Janganlah bersemangat untuk menaikkan PAD tanpa memperhitungkan dampaknya pada lingkungan hidup. Pengorbanan lingkungan hidup itu membawa biaya besar, antara lain, biaya kesehatan dan kerusakan karena banjir.

Dengan makin banyaknya pembangunan di KBU dan KBS lahan hijau makin berkurang, sementara di kota makin banyak pohon dan jalur hijau yang hilang, permukaan tanah yang ditembok dan diaspal makin luas, kerusakan riul makin parah dan makin banyak sampah yang menyumbat riul. Maka dampak hujan terhadap banjir makin besar. Hujan luar biasa lima-tahunan akan menyebabkan banjir 10-tahunan, hujan 10-tahunan menyebabkan banjir 20-tahunan dan seterusnya.

Lagi pula dengan topografinya yang berlereng, risiko terjadinya tanah longsor jauh lebih besar daripada Jakarta, misalnya Dago Bengkok. Wilayah sepanjang aliran Cikapundung dan sungai lain dapat diterjang banjir besar yang membawa lumpur dari atas.

Kali ini kita beruntung tidak mendapat hujan sangat deras seperti di Jakarta dan Puncak-Bogor. Musim hujan yang akan datang mungkin kita tidak beruntung. Sekali lagi, marilah kita berkaca pada Jakarta. Jika kita tidak mau berkaca pada Jakarta, pertanyaannya bukanlah apakah dapat terjadi banjir besar di Bandung, melainkan kapan akan terjadi banjir besar di Bandung? Janganlah kita takabur!

Semoga Allah SWT memberi kearifan dan keberanian kepada para pemimpin eksekutif dan legislatif kita di Provinsi Jabar serta di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung untuk berkata dengan tegas, "Tidak!" untuk perluasan pembangunan di KBU dan KBS serta untuk mengorbankan terus-menerus pohon, jalur hijau, taman, dan halaman di kota untuk jalan dan tempat parkir. Amin ya robbil alamin.***


*Penulis, guru besar emeritus, pakar ekologi.

Labels:

posted by ojack_djakarta 3:34 PM  

 
0 Comments:

Post a Comment